Sejarah menunjukkan bahwa pada masa lalu, Indonesia memiliki pengaruh yang sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama melalui kekuatan maritim besar di bawah Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Wilayah laut Indonesia yang merupakan dua pertiga wilayah Nusantara mengakibatkan sejak masa lampau, Nusantara diwarnai dengan berbagai pergumulan kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan Nusantara, bahkan mampu mengarungi samudera luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan.
Penguasaan lautan oleh nenek moyang kita, baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit maupun kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, lebih merupakan penguasaan de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi kewilayahan dan hukum. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia yang mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat bahari. Akan tetapi, oleh penjajah kolonial, bangsa Indonesia didesak ke darat, yang mengakibatkan menurunnya jiwa bahari.
Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami dan menghayati arti dan kegunaan laut sebagai sarana untuk menjamin berbagai kepentingan antarbangsa, seperti perdagangan dan komunikasi.
Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit.
Selain itu, banyak bukti prasejarah di pulau Muna, Seram dan Arguni yang diperkirakan merupakan hasil budaya manusia sekitar tahun 10.000 sebelum masehi! Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar. Ada pula peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang didirikan perantau dari Nusantara yang ditemukan di wilayah Madagaskar. Tentu pengaruh dan kekuasaan tersebut dapat diperoleh bangsa Indonesia waktu itu karena kemampuan membangun kapal dan armada yang layak laut, bahkan mampu berlayar sampai lebih dari 4.000 mil.
Selain Sriwijaya dan bahkan sebelum Majapahit, Kerajaan Singosari juga memiliki armada laut yang kuat dan mengadakan hubungan dagang secara intensif dengan wilayah sekitarnya. Kita mengetahui strategi besar Majapahit mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa dari Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami pengembangan dan perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa bahari yang besar.
Sayangnya, setelah mencapai kejayaan budaya bahari, Indonesia terus mengalami kemunduran, terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda. Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Namun demikian, budaya bahari Indonesia tidak boleh hilang karena alamiah Indonesia sebagai negara kepulauan terus menginduksi, membentuk budaya bahari bangsa Indonesia.
Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan aspek budaya bahari bentukan secara alamiah oleh aspek-aspek alamiah Indonesia. Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan berkurangnya perhatian Pemerintah terhadap pembangunan maritim.
2. MENUMBUHKAN KEMBALI KESADARAN BAHARI
Sesungguhnya, secara pemikiran dan konsepsi, Bangsa Indonesia sudah lama ingin kembali ke laut. Pada tahun 1957, Bangsa Indonesia mendeklarasikan Wawasan Nusantara, yang memandang bahwa wilayah laut di antara pulaupulau Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Bung Karno saat pembukaan Lemhanas tahun 1965 mengatakan bahwa "Geopolitical Destiny" dari Indonesia adalah maritim.
Melalui suatu perjuangan panjang dan bersejarah di forum internasional, pada tahun 1982, gagasan Negara Nusantara yang dipelopori Indonesia berhasil mendapat pengakuan Internasional dalam kovensi PBB tentang hukum laut. Pada 18 Desember 1996 di Makassar, Sulawesi Selatan, BJ Habibie sebagai Menristek membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan pembangunan “Benua Maritim Indonesia”. Selanjutnya pada tahun 1998 Presiden BJ Habibie mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia dalam “Deklarasi Bunaken”. Inti dari deklarasi tersebut adalah laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia. Sejak tahun 1999 Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan komitmennya terhadap pembangunan kelautan. Komitmen pembangunan pemerintah di bidang kelautan, diwujudkan dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut pada tanggal 26 Oktober 1999 dan menempatkan Sarwono Kusumaatmadja sebagai menteri pertama. Pada bulan Desember nama departemen ini berubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, dan sejak awal tahun 2001 berubah lagi menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) hingga sekarang.
Demi menggemakan semangat pembangunan nasional yang berdasarkan kelautan, Presiden KH Abdurrahman Wahid mencanangkan 13 Desember sebagai Hari Nusantara dan memperingatinya untuk pertama kali di Istana Negara, Jakarta tahun 1999. Visi pembangunan kelautan Gus Dur kemudian diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, dengan menetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara berdasarkan Keppres No. 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, dan menjadikan tanggal tersebut sebagai hari resmi perayaan nasional. Kebijakan yang sangat penting di bidang maritim yang dibuat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001 yaitu dalam Seruan Sunda Kelapa menyatakan penerapan asas cabotage sebagai suatu keharusan. Penerapan asas cabotage adalah kebijakan fundamental bagi pembangunan industri maritim nasional. Dengan pencetusan kebijakan penerapan asas cabotage dengan Seruan Sunda Kelapa tersebut, Pemerintah kemudian segera memulai penyusunan aturan pelaksanaannya. Aturan pelaksanaannya berupa Inpres tentang Pengembangan Industri Pelayaran Nasional yang akhirnya ditandatangani oleh oleh Presiden berikutnya yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa Inpres No. 5 tahun 2005. Namun penerapan Inpres ini berjalan sangat lamban, terutama karena dukungan Kementerian Keuangan dalam hal kebijakan keuangan dan perpajakan untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal.
Dalam tataran strategik operasional, budaya bahari bangsa Indonesia masih memprihatinkan, apalagi bila kita sependapat bahwa budaya adalah semua hasil olah pikir, sikap dan perilaku masyarakat yang diyakini dan dikembangkan bersama untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi, mengembangkan kehidupan yang lebih layak, dan beradaptasi terhadap situasi lingkungan hidup. Budaya bahari bangsa Indonesia belum tumbuh kembali, bukan saja di tengah masyarakat, tetapi juga pada tataran pembuat kebijaksanaan sehingga Indonesia belum mampu memanfaatkan kelautan sebagai sumber kesejahteraannnya. Kita perlu mengembangkan kesadaran bahari Bangsa Indonesia, terutama dengan menerapkan kebijakan pembangunan maritim nasional berdasarkan konsepsi yang jelas sesuai aspek-aspek alamiah (Tri Gatra) Indonesia.
Mengalir dari uraian di atas, tampak jelas bahwa Indonesia membutuhkan segera adanya kebijakan pembangunan maritim nasional yang dimulai dengan perumusan persepsi bangsa Indonesia dalam melihat pengaruh laut terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan sistem pertahanan dankeamanan nasional.
3. MENEGAKKAN MARTABAT BANGSA
Estimasi yang dikeluarkan oleh Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) ketika masih bernama Dewan Maritim Indonesia (DMI), melalui majalah internal Maritim Indonesia edisi Juli 2007 menyebutkan bahwa laut Indonesia menyimpan potensi kekayaan yang dapat dieksploitasi senilai 156.578.651. 400 US dollar per tahun. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp 9.300 per 1 dollar AS, angka itu setara dengan Rp 1.456 triliun.
Walaupun demikian, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional dinilai masih rendah. Pada tahun 1998 sektor kelautan hanya menyumbang 20,06 persen terhadap PDB, itupun sebagian besarnya atau 49,78 persen disumbangkan oleh subsektor pertambangan minyak dan gas bumi di laut. Ini menunjukkan bahwa kekayaan laut Indonesia yang sangat besar itu masih disiasiakan. Berbeda dengan negara maritim lain seperti RRC, AS, dan Norwegia, yang sudah memanfaatkan laut sedemikian rupa hingga memberikan kontribusi di atas 30 persen terhadap PDRB nasional mereka.
Dengan melihat kenyataan seperti ini, sudah saatnya Bangsa Indonesia membangkitkan kembali kesadaran bahwa laut harus dipandang sebagai kesatuan wilayah dan sumber kehidupan, media perhubungan utama, wahana untuk merebut pengaruh politik dan wilayah pertahanan penyanggah utama.
Kedudukan Indonesia pada posisi silang perdagangan dan memiliki dari 9 Sea Lines of Communication dunia mengakibatkan Indonesia mempunyai kewajiban yang sangat besar untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional di Selat Malaka/ Singapura dan 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Indonesia belum mempunyai kemampuan pertahanan dan keamanan laut yang memadai untuk hal tersebut, apalagi untuk menjaga kedaulatan di seluruh wilayah laut yurisdiksinya.
Sepanjang berkaitan dengan kebijakan pertahanan nasional, pada dasarnya Indonesia adalah negara yang cinta damai dan tidak memiliki ambisi untuk menguasai negara atau wilayah bangsa lain. Akan tetapi, Indonesia memiliki pulau-pulau yang jauh terutama di Laut Natuna dan Sulawesi, dan masih ada wilayah perbatasan yang belum ditetapkan serta wilayah dengan potensi sengketa. Oleh karena itu, Indonesia harus tetap mewaspadai adanya kemungkinan kontingensi. Indonesia harus memiliki kesiagaan dan kemampuan untuk dapat mengendalikan lautnya dan memproyeksikan kekuatannya melalui laut dalam rangka memelihara stabilitas dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagi suatu Negara dengan kekuatan ekonomi yang terus berkembang, kelanjutan kemajuan Indonesia akan makin bergantung pada perdagangan dan angkutan laut dan ketersediaan energi, serta pada ekploitasi sumber daya laut dan bawah laut serta membangun industri maritim yang tangguh. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa Indonesia memiliki kepentingan nasional yang sangat besar di laut. Sebagai hal yang mendasari kepentingan Indonesia di laut, Indonesia harus memiliki kemerdekaan atau kebebasan menggunakan laut wilayahnya untuk memperjuangkan tujuan nasionalnya, serta mempunyai strategi untuk menjaga kepentingan maritimnya dalam segala situasi.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Indonesia sudah memiliki kemampuan untuk memanfaatkan lautnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kepentingan masyarakat internasional? Rasanya masih jauh panggang dari api. Jangankan memiliki kemampuan maritim yang memadai, usaha-usaha ke arah itupun belum tampak jelas. Bahkan Indonesia belum secara tegas menyatakan kepentingan nasionalnya di laut dan belum menetapkan National Ocean Policy. Pada dasarnya ada tiga kepentingan nasional Indonesia di laut yaitu:
1. Memelihara keselamatan dan keamanan serta mempertahankan kepentingan Indonesia di dan lewat laut;
2. Membangun dan mengembangkan Ekonomi Maritim untuk memperkuat pembangunan ekonomi nasional;
3. Menjamin kelestarian marine mega biodiversity dan lingkungan laut.
Martabat bangsa memerlukan kekuatan ekonomi dan pertahanan. Industri maritim mempunyai potensi yang sangat besar. Oleh karenanya apabila dikelola dengan baik dan benar, potensi maritim dapat menjadi salah satu pilar ekonomi nasional yang kompetitif, sedangkan pengelolaan yang baik dan benar sangat ditentukan oleh konsepsi pembangunan maritim, mulai dari persepsi, misi, kebijakan dan strategi yang tepat.
4. MEMPERTAHANKAN KEPENTINGAN NASIONAL DI LAUT
Dalam kepentingan menjaga keselamatan, keamanan dan pertahanan Negara di laut, TNI AL sebagai tulang punggung upaya pertahanan dan keamanan di laut masih belum memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan penguasaan laut di bawah yurisdiksi nasional. Kasus Ambalat dan yang terakhir, penangkapan petugas Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kepulauan Riau oleh Polisi Laut Diraja Malaysia hanyalah beberapa contoh, bagaimana resiko yang harus diterima bila Indonesia tidak memiliki armada perang yang kuat dan kemampuan pengamanan laut yang handal. Dari kebutuhan sekitar 300 kapal kombatan, TNI AL hanya memiliki sekitar 130 kapal dengan komposisi dan kemampuan yang dirasa belum memadai. Kekuatan TNI AL tertinggal dari negara-negara tetangga, terutama dari sisi teknologi, karena masih mengandalkan kapal-kapal tua. Thailand saja memiliki kapal induk, sedangkan kapal kombatan Indonesia masih terbatas sampai jenis Korvet. Pembangunan TNI AL pun seharusnya lebih bersifat outward looking, yaitu berdasarkan kebutuhan pengendalian laut nasional sampai ke batas wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, bukan hanya untuk mendukung pertahanan di darat.
Kita perlu mempertimbangkan strategi pertahanan yang bersifat deterrent dan denial. Kalau musuh bisa ditangkal dan dicegah di laut, kita tidak perlu berperang di darat. Sebagai contoh, Singapura menganut doktrin pertahanan forward defence, yang jelas bersifat offensive. Selain itu, sesuai dengan UNCLOS 1982, kewenangan penegakan hukum di laut oleh kapal pemerintah atau government ship masih lemah karena tersebar pada beberapa instansi. Maritime security arrangement Indonesia perlu ditata kembali agar lebih efisien dengan membentuk Indonesian Sea and Coast Guard, sebagai single agency dengan multi task yang memiliki kemampuan penegakan hukum di laut yang mumpuni, serta memperkuat kemampuan dan posisi TNI-AL yang memiliki fungsi diplomasi, polisional dan militer.
Kepentingan mengamankan kegiatan ekonomi dan kedaulatan di laut yurisdiksi Indonesia yang sangat luas membutuhkan sistem yang profesional, efektif dan efisien. Contohnya, kewenangan menegakkan hukum di laut tersebar di 13 instansi.
5. MEMBANGUN EKONOMI MARITIM
Dari sisi pembangunan ekonomi maritim, Indonesia juga masih menghadapi banyak kendala. Sektor perhubungan laut yang dapat menjadi multiplier effect karena perkembangannya akan diikuti oleh pembangunan dan pengembangan industri dan jasa maritim lainnya masih dikuasai oleh kapal niaga asing. Azas cabotage seperti yang diamanatkan oleh UU RI No: 17/2008 tentang Pelayaran masih perlu diperjuangkan agar dapat diterapkan dengan baik. Kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya kapasitas kapal nasional, sedangkan pembangunan kapal baru dihadang oleh tidak adanya keringanan pajak dan sulitnya kredit serta tingginya bunga kredit untuk usaha di bidang maritim mengingat usaha jenis ini memiliki tingkat resiko tinggi dan slow yielding. Untuk angkutan domestik, armada nasional baru mampu mengangkut sekitar 60 persen. Peranan armada nasional dalam angkutan laut internasional baik ekspor maupun impor menunjukkan kenyataan yang lebih memprihatinkan, karena pemberlakuan prinsip Freight on Board (FoB), bukan Cost and Freight (CnF). Dari ekspor dan impor nasional, armada Indonesia hanya kebagian jatah sekitar 10 persen, mengakibatkan kerugian devisa sebesar 40 miliar USD!
Kita juga masih prihatin terhadap kondisi pelabuhan nasional yang belum tertata secara konseptual tentang pelabuhan utama ekspor-impor dan pengumpan. Selain itu, keamanan dan efisiensi pelabuhan Indonesia masih diragukan, terutama bila dihadapkan pada pemenuhan persyaratan International Ship and Port Safety (ISPS) Code. Kecelakaan laut yang menimpa angkutan antar pulau yang memakan korban jiwa yang besar masih terus terjadi, mengingat kapal yang digunakan adalah kapal tua, tidak dilengkapi peralatan keselamatan, bahkan tidak layak laut.
Sisi lain dari laut yang memberikan peluang kesejahteraan dan kemakmuran, sekaligus buah pertikaian pada masa depan adalah sumber daya laut dan bawah laut. Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif yang terbentang seluas 2,7 juta km persegi dan keberhasilan untuk mengekploitasi wilayah ini dapat membantu mengangkat Indonesia keluar dari keterbelakangan ekonomi. Namun disadari bahwa Indonesia kekurangan kemampuan teknologi untuk memanfaatkan kekayaan bawah lautnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya survey, research dan sumber daya manusia di bidang maritim. Indonesia bahkan masih mengalami kesulitan untuk memanfaatkan wilayah lautnya yang kaya dengan sumber daya perikanan. Illegal, Unregulated and Unreported fishing masih terjadi secara luas, karena Indonesia belum mampu memperkuat armada perikanan nasional dan belum mampu mengawasi dan mengendalikan lautnya secara optimal.
Diperkirakan Indonesia membutuhkan sekitar 22.000 kapal ikan dengan kapasitas masing-masing di atas 100 ton. Jumlah ini terlihat besar, namun sesungguhnya merupakan estimasi minimal. Sebagai perbandingan, Thailand memiliki sekitar 30.000 kapal ikan yang resmi dan konon sekitar 20.000 yang tidak terdaftar. Di Taiwan, usaha perikanan dapat memberikan penghidupan yang layak bagi tidak kurang dari 300.000 keluarga. Sedangkan di Indonesia, terdapat sekitar 8.090 desa pesisir di 300 kabupaten dan kota di mana bermukim sekitar 16,42 juta warga yang bermata pencarian sebagai nelayan, pembudi daya ikan, pengolah, pemasar dan pedagang hasil perikanan. Dari jumlah tersebut 32 persen masuk kategori miskin.
Dari uraian pembangunan ekonomi maritim ini terlihat jelas bahwa kekuatan armada pelayaran niaga dan perikanan adalah ujung tombak dan tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi atau industri maritim nasional. Asas cabotage yang telah secara tegas diatur untuk diterapkan adalah kebijakan fundamental untuk pembangunan industri maritim karena multiplier effect nya yang sangat luas. Intinya, untuk membangun ekonomi atau industri maritim, pemerintah perlu segera menerapkan kebijakan insentif kredit dan pajak untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal sebagaimana diterapkan oleh pemerintah dari negara-negara lain yang menjadi saingan armada pelayaran niaga kita. Inpres V/2005 dan UU RI No.17/2008 tentang Pelayaran telah mengatur masalah ini. Apabila hal ini diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh oleh pemerintah, pembangunan industri maritim akan segera menggeliat secara nyata.
6. MENJAMIN KELESTARIAN LINGKUNGAN LAUT
Indonesia juga masih mengalami kesulitan untuk menjaga kelestarian lingkungan laut dan marine mega biodiversity nya. Indonesia memiliki lebih dari 80,000 km persegi daerah terumbu karang atau sekitar 14 persen terumbu karang dunia. Bersama Phillipina dan Papua New Guinea, wilayah Indonesia merupakan 35% wilayah terumbu karang dunia, menjadikan wilayah ini sebagai wilayah prioritas untuk memelihara kelestarian marine biodiversity di Asia-Pasifik yang dikenal sebagai “Coral Triangle”. Terdapat hutan bakau seluas 2,5 juta hektar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Hutan bakau antara lain berfungsi sebagai daerah pembiakan, pembesaran dan mencari makan bagi ikan, udang dan organisme laut lain, serta melindungi pantai dari abrasi dan erosi. Rumput laut juga tumbuh di banyak pantai di Indonesia.
Dalam kenyataannya, Indonesia mengalami degradasi lingkungan laut yang sangat serius, yang juga mengancam kelangsungan kehidupan mega biodiversity di Asia-Pasifik. Dalam 50 tahun terakhir, kerusakan terumbu karang meningkat dari sekitar 10% menjadi 50%. Hutan bakau di Indonesia juga berkurang dengan cepat karena pembangunan fasilitas pantai dan tambak liar. Tanpa upaya yang cepat dan serius maka seluruh terumbu karang Indonesia akan lenyap dalam 20 sampai 40 tahun. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan industri perikanan dan kelautan serta wisata bahari di Indonesia. Penyebab utama kerusakan karang dan lingkungan laut adalah penangkapan ikan yang merusak, pengembangan wilayah pantai yang tidak terkendali dan sedimentasi serta polusi.
Cukup jelas bahwa pembangunan kelautan harus dilaksanakan secara berkelanjutan (sustainable). Perusakan dan pencemaran lingkungan laut dan pantai akan sangat merugikan usaha perikanan dan pariwisata bahari yang memiliki potensi ekonomi yang sangat besar.
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Untuk mengatasi semua tantangan di bidang kelautan ini maka tidak dapat tidak, seluruh komponen bangsa harus segera membangkitkan maritime domain awareness, atau kesadaran lingkungan maritim. Hal ini diperlukan, karena sepertinya kita tidak lagi memiliki budaya bahari, sehingga perlu dibangun kembali melalui upaya penyadaran. Lingkungan bahari yang dimaksud adalah semua area dan hal-hal yang berhubungan, berkaitan, berdekatan atau berbatasan dengan laut, samudera atau semua perairan yang dapat dilayari, termasuk semua kegiatan yang berhubungan dengan maritim, infrastruktur, masyarakat, muatan kapal, armada, baik niaga, perikanan, maupun armada perang. Upaya menyadarkan masyarakat terhadap arti penting lingkungan maritim haruslah sampai kepada penyadaran yang efektif terhadap segala sesuatu yang menyangkut lingkungan maritim merupakan hal yang vital bagi keamanan, keselamatan, ekonomi dan lingkungan hidup bangsa Indonesia, serta menunjang upaya menegakkan harga diri bangsa.
Menyadarkan bahwa laut adalah aspek alamiah yang paling mempengaruhi kehidupan poleksosbudhankam nasional merupakan isu yang paling utama dan menarik perhatian.
Pemerintah harus menjadi ujung tombak, dan untuk itu pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan sebuah National Ocean Policy dalam rangka pemanfaatan laut bagi sebesar-besarnya kemakmuran bangsa, sekaligus untuk mengembangkan kembali budaya bahari bangsa, yang tujuan akhirnya tentulah penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan harga diri bangsa.
2. SARAN
Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan merumuskan dan memasyarakatkan persepsi kelautan yang tepat bagi bangsa Indonesia, yakni laut sebagai tali kehidupan dan masa depan bangsa.
Dengan persepsi demikian tersebut dapat memacu kesadaran akan arti penting dan strategis masalah maritim dalam pembangunan nasional.
Kebijakan nasional yang tertuang dalam konsideran Perpres No. 19 Tahun 1960 Tentang Pembentukan Dewan Maritim yang berbunyi: Indonesia sebagai negara maritim memiliki nilai yang unik dan sangat penting sehingga segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan masalah maritim harus diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh.
Memperkuat kembali kebijakan yang memberi perhatian khusus dan sungguh-sungguh terhadap masalah maritim, merupakan keputusan yang tepat dan sangat relevan.
Di samping hal tersebut di atas, tidak kalah pentingnya memperkuat wawasan nusantara untuk mempercepat terbentuknya keunggulan kompetitif Indonesia dalam persaingan internasional, dan mempertahankan martabat bangsa.REFERENSI
UU. No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
Inpres V Tahun 2005 Tentang Pengembangan Industri Pelayaran Niaga Nasional.
Perpres No. 19 Tahun 1960 Tentang Pembentukan Dewan Maritim. ABC News Online, Last Update: Saturday, February 12, 2005. 6;00pm (AEDT), Indonesian Navy plans fleet expansion.
Hasyim Djalal, “Combating Piracy: Cooperation Needs, Efforts, and Challenges”, Piracy in South Asia, Status, Issues, and Responses, Edited by Derek Johnson and Mark Valencia, ISEAS Publications, 2005.
Ketut Sarjana Putra, Jatna Supriatna, Mark Edmann and Laure Katz, Coservation International (CI) Indonesia, “Cross-sector Partnership in Conserving Indonesia’s Marine and Coastal Biodiversity: A Lesson Learned from Raja Ampat Bird’s Head Seascape Indonesia”.
Peter Gwin, “The Strait of Malacca Dark Passage”, National Geographic, October 2007.
Singapore Meeting on the Straits of Malacca and Singapore: “Enhancing Safety, Security and Environment Protection”, 4 – 6 September 2007.
Zhang Xuegang, “South Asia and Energy, Gateway to Stability”, China Security, Vol. 3 No 2, page 19.
Koran Rakyat Merdeka, Sabei, 30 May 2009, page 12.
Djoko Pramono, “Budaya Bahari” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005. Menuju Kejayaan Bangsa Bahari, Majalah Berita Indonesia, Jumat 23 November 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar