Selamat datang di blog ini

Blog ini merupakan blog yang berisikan catatan-catatan mahasiswa yang merindukan keadilan di negeri ini...!!!!!

Selasa, 25 Oktober 2011

ILMU POLITIK

Definisi Ilmu Politik
Sebelum mendefinisikan apa itu ilmu politik, maka perlu diketahui lebih dulu apa itu politik. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat berwujud proses pembuatan keputusan ( decision making ) khususnya dalam negara. Dengan demikian ilmu politik adalah cabang dari ilmu social yang berdampingan dengan cabang ilmu social lainnya seperti antropologi, sosiologi, ekonomi dan psikologi. Ilmu politik yang sama dengan ilmu social lainnya berobjekkan manusia sebagai kelompok masyarakat. Ilmu tersebut mempelajari tentang kerjasama manusia untuk mencapai sesuatu. Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani ”polis” yang berarti kota yang berstatus negara. Secara umum istilah politik dapat diartikan berbagai macam kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Menurut Miriam Budiardjo dalam buku ”Dasar-dasar Ilmu Politik”, ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang perpolitikan. Politik diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik. Orang Yunani seperti Plato dan Aristoteles menyebutnya sebagai en dam onia atau the good life (kehidupan yang baik).
Menurut Goodin dalam buku “A New Handbook of Political Science”, politik dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan social secara paksa. Jadi, ilmu politik dapat diartikan sebagai sifat dan sumber paksaan itu, serta cara menggunakan kekuasaan sosial dengan paksaan tersebut.
Disamping itu, politik juga dapat ditilik dari sudut pandang yang berbeda, yaitu antara lain :
·      Teori klasik Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
·      Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Politik merupakan kegiatanyang diarahkan untuk mendapat dan mempertahankan kekuaaan di masyarakat.
·      Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Selain dari sudut pandang yang berbeda, para phylosophi tentang ilmu politik juga memberikan defenisi tentang ilmu politik juga memberikan defenisi tentang ilmu politik. Diantaranya:
ü Menurut Bluntschli, Garner dan Frank Goodnow menyatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari lingkungan kenegaraan.
ü Menurut Seely dan Stephen Leacock, ilmu politik merupakan ilmu yang serasi dalam menangani pemerintahan.
ü Di lain pihak pemikir Prancis seperti Paul Janet menyikapi ilmu politik sebagai ilmu yang mengatur perkembangan Negara begitu juga prinsip- prinsip pemerintahan, Pendapat ini didukung juga oleh R.N. Gilchrist.
ü Lasswell, ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari pengaruh dan kekuasaan.
ü Ossip K. Fletchteim dalam foundamental of political sience menegaskan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari Negara sejauh Negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tidak resmi yang dapat mempengaruhi Negara (Political Science is that Specialized social Science that studies the nature and purose of the state so far as it a power organization and the nature and purpose of other unofficial power phenomen that are apt to influence the sate).
ü J.Barents : Ilmu politik adalah ilmu yang mem pelajari kehidupan Negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Dalam konteks memahami politik, yang perlu dipahami adalah kekuasaan kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
Ilmu politik juga mempunyaibeberapa konsep yang dibahas, antara lain masyarakat, kelas social, negara , kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, modernisasi, dan lain sebagainya.
Teori politik juga tidak lepas dari pelaksanaan politik, teori politik merupakan kegiatan mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekoennya. Dalam teori politik ada beberapa bahasan, antara lain filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb.
Ilmu politik secara teoritis terbagi kepada dua yaitu :
·      Valuational, artinya ilmu politik berdasarkan moral dan norma politik. Teori valuational ini terdiri dari filsafat politik, ideologi dan politik sistematis.
·      Non valuational, artinya ilmu politik hanya sekedar mendeskripsikan dan mengkomparasikan satu peristiwa dengan peristiwa lain tanpa mengaitkannya dengan moral atau norma.
Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara-negara di dunia, antara lain : anarkisme, autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.

Perkembangan Ilmu Politik
Ilmu politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada. Sejak orang mulai hidup bersama, masalah tentang pengaturan dan pengawasan dimulai. Sejak itu para pemikir politik mulai membahas masalah-masalah yang menyangkut batasan penerapan kekuasaan, hubungan antara yang memerintah serta yang diperintah, serta sistem apa yang paling baik menjamin adanya pemenuhan kebutuhan tentang pengaturan dan pengawasan.
Ilmu politik diawali dengan baik pada masa Yunani Kuno, membuat peningkatan pada masa Romawi, tidak terlalu berkembang di Zaman Pertengahan, sedikit berkembang pada Zaman Renaissance dan Penerangan, membuat beberapa perkembangan substansial pada abad 19, dan kemudian berkembang sangat pesat pada abad 20 karena ilmu politik mendapatkan karakteristik tersendiri.
Ilmu politik sebagai pemikiran mengenai Negara sudah dimulai pada tahun 450 S.M. seperti dalam karya Herodotus, Plato, Aristoteles, dan lainnya. Di beberapa pusat kebudayaan Asia seperti India dan Cina, telah terkumpul beberapa karya tulis bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul dalam kesusasteraan Dharmasatra dan Arthasastra, berasal kira-kira dari tahun 500 S.M. Di antara filsuf Cina terkenal, ada Konfusius, Mencius, dan Shan Yang(±350 S.M.).
Di Indonesia sendiri ada beberapa karya tulis tentang kenegaraan, misalnya Negarakertagama sekitar abad 13 dan Babad Tanah Jawi. Kesusasteraan di Negara-negara Asia mulai mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh Negara-negara penjajah dari Barat.
Di Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan mengenai politik pada abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena itu ilmu politik hanya berfokus pada negara. Selain ilmu hukum, pengaruh ilmu sejarah dan filsafat pada ilmu politik masih terasa sampai perang Dunia II.
Di Amerika Serikat terjadi perkembangan berbeda, karena ada keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis, dan lebih mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris. Perkembangan selanjutnya bersamaan dengan perkembangan sosiologi dan psikologi, sehingga dua cabang ilmu tersebut sangat mempengaruhi ilmu politik. Perkembangan selanjutnya berjalan dengan cepat, dapat dilihat dengan didirikannya American Political Science Association pada 1904.
Perkembangan ilmu politik setelah Perang Dunia II berkembang lebih pesat, misalnya di Amsterdam, Belanda didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, walaupun penelitian tentang negara di Belanda masih didominasi oleh Fakultas Hukum. Di Indonesia sendiri didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, seperti di Universitas Riau. Perkembangan awal ilmu politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena pendidikan tinggi ilmu hukum sangat maju pada saat itu.Sekarang, konsep-konsep ilmu politik yang baru sudah mulai diterima oleh masyarakat.
Di negara-negara Eropa Timur, pendekatan tradisional dari segi sejarah, filsafat, dan hukum masih berlaku hingga saat ini. Sesudah keruntuhan komunisme, ilmu politik berkembang pesat, bisa dilihat dengan ditambahnya pendekatan-pendekatan yang tengah berkembang di negara-negara barat pada pendekatan tradisional.
Perkembangan ilmu politik juga disebabkan oleh dorongan kuat beberapa badan internasional, seperti UNESCO. Karena adanya perbedaan dalam metodologi dan terminologi dalam ilmu politik, maka UNESCO pada tahun1948 melakukan survei mengenai ilmu politik di kira-kira 30 negara. Kemudian, proyek ini dibahas beberapa ahli di Prancis, dan menghasilkan buku Contemporary Political Science pada tahun 1948.
Selanjutnya UNESCO bersama International Political Science Association (IPSA) yang mencakup kira-kira ssepuluh negara, diantaranya negara Barat, di samping India, Meksiko, dan Polandia. Pada tahun 1952 hasil penelitian ini dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris dan hasilnya disusun oleh W. A. Robson dari London School of Economics and Political Science dalam buku The University Teaching of Political Science. Buku ini diterbitkan oleh UNESCO untuk pengajaran beberapa ilmu sosial(termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina perkembangan ilmu politik dan mempertemukan pandangan yang berbeda-beda.
Pada masa-masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak memanfaatkan penemuan-penemuan dari antropologi, sosiologi, psikologi, dan ekonomi, dan dengan demikian ilmu politik dapat meningkatkan mutunya dengan banyak mengambil model dari cabang ilmu sosial lainnya. Berkat hal ini, wajah ilmu politik telah banyak berubah dan ilmu politik menjadi ilmu yang penting dipelajari untuk mengerti tentang politik.

Tujuan Mempelajari Ilmu Politik
Secara umum terdapat tiga makna tujuan
mempelajari ilmu politik:
a.         Pertama, perspektif intelektual
Sebagaimana kita maklumi bahwa sebenarnya tujuan politik adalah tindakan politik. Untuk mencapai itu diperlukan pembelajaran untuk memperbesar kepekaan pembelajar sehingga ia dapat bertindak. Agar dapat bertindak dengan baik secara politik, orang perlu mempelajari azas dan seni politik, nilai-nilai yang dianggap penting oleh masyarakat. Seperti, bagaimana nilai-nilai itu diwujudkan dalam lembaga-lembaga, serta taktik ataupun strategi apa yang digunakan untuk bertindak? Dengan demikian orang belajar, bagaimana kekuasaan dapat dijinakkan oleh Prometheus, dan diabdikan kepada tujuan manusia yang positif. Sebagai contoh, Plato dan Aristoteles di akademi-akademi Yunani, tetapi juga mereka sangat terlibat dalam politik praktis. Begitu juga sebelumnya Socrates sebagai lambang guru politik yang aktif, ia juga meninggal karena tekanan-tekanan politik praktis penguasa Yunani kuno.
Metode pembelajarannya pun sudah mengenal metode yang bersifat kritis. Tujuannya tidak lain adalah untuk menelaah kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para penguasa dan berusaha untuk mengurangi ketidaktahuan dari mereka yang dikuasai.. Walaupun ajaran kritis tersebut pada prinsipnya bersifat intelektual, tetapi dapat menimbulkan hal-hal yang bersifat praktis. Itulah sebabnya mengapa tradisi intelektual dapat dengan mudah menjadi subversif terhadap penguasa dan merangsang timbulnya perdebatan politik. “Dengan
demikian tidak bisa dihindari bahwa pembelajarn politik bersifat politis, dan guru-guru politik merupakan aktivis”. Jadi, perspektif intelektual dalam politik adalah perspektif yang mempergunakan diri sendiri sebagai titik tolak. Sebab perspektif itu bertolak dan dibangun berdasarkan apa yang dianggap salah oleh individu,
maka pemikiran individu itu yang memperbaikinya.
b.        Kedua, perspektif politik
Maksudnya adalah bahwa pandangan intelektual mengenai politik, tidak banyak berbeda dengan pandangan politisi. Bedanya terletak jika politisi lebih bersifat “segera” (yang ada kini dan di sini, daripada hal-hal yang teoretis). Sedangkan intelektual dapat menjadi politisi jika ia mampu memasukkan masalah politik dalam pelayanan suatu kepentingan ataupun tujuan. Sebagai contoh, sebuah kasus dengan adanya sistem pemilihan langsung di Indonesia, banyak intelektual yang bersedia menjadi calon legislatif dan eksekutif pusat dan daerah. Dengan kampanye yang bergaya “orator mendadak”, dalam waktu singkat mereka mempersiapkan dan menggunakan strtegi itu dari yang biasanya sangat teoretik mendadak berubah ke dalam suatu kerangka kerja yang bersifat praktik. Hal ini mirip dengan apa yang dinyatakan Robert Dahl (1967: 1- 90), bahwa dalam waktu singkat mereka telah menjadi politisi. Singkatnnya, dunia politisi adalah dunia hari ini, dan hari esok yang dekat. Sedangkan kaum intelektual menaruh perhatian dalam tiga dimensi; hari kemarin, hari ini, dan hari esok. Keputusan-keputusan dari politisi diuji dalam kenyataan tanggapan publik yang keras. Suara lebih dahulu, sedangkan azas belakangan. Jika tujuan pertama politisi adalah memperoleh kekuasaan, maka kaidah kedua adalah mempertahanakan kekuasaan. Juga tidak usah heran sebagian politisi termasuk yang terbaik dan tercerdik sekalipun sering melakukan hal-hal yang mengerikan. Karena itu tidak usah heran pula jika politisi adalah orang yang selalu optimis yang senantiasa tergugah oleh kemungkinan-kemungkinan yang dapat diperoleh dari kekuasaan (Apter, 1996: 20).
c.         Ketiga, perspektif ilmu politik
Dalam hal ini politik dipandang sebagai ilmu. Ia menilai politik dari sisi intelektual dengan pertimbangan kritis serta mempunyai criteria yang sistematis. Pendirian ini memandang memandangnya terhadap kebutuhan ke depan, untuk meramalkan akibat tindakan politik maupun kebijaksanaan para politisi. Jika para politisi memandang politik sebagai pusat kekuasaan publik, maka kaum intelektual memandang politik sebagai perluasan pusat moral dari diri. Dengan demikian politik sebagai ilmu menaruh perhatian pada dalil-dalil, keabsahan, percobaan, hukum, keragaman, pembentukan asasasas yang universal (Apter, 1996: 21).

Filsafat Politik
Studi mengenai filsafat politik lahir dari cabang ilmu filsafat praktis. Namun, pembahasan mengenai filsafat politik harus tetap dibedakan dengan ilmu filsafat itu sendiri. Filsafat merupakan suatu usaha untuk mencari kebenaran hingga ke akar-akarnya. Sedangkan filsafata politik adalah studi tentang penilaian dan kritik moral terhadap proses yang melandasi kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang bertujuan untuk mengarahkan terciptanya susunan organisasi masyarakat yang baik dan tepat.
Filsafat politik sudah terpikirkan sejak era Yunani Kuno. Hingga sekarang filsafat politik terus mengalami perkembangan. Filsafat politik di dalam perjalanannya semenjak era Yunani Kuno, kemudian melewati abad pertengahan, abad renaissance, abad pencerahan, abad modern, hingga dewasa ini memunculkan berbagai karya dan pemikiran besar dari para ahli.
Dari perjalanan era itu setidaknya muncul 18 karya besar tentang filsafat politik. Adapun inti dari pemikiran-pemikiran tersebut adalah sebagai berikut:


a.    Politeia, Plato
Plato (428 - 348 SM) di Athena, menulis karya Politeia (365 SM) sesuai dengan konteks zamannya; iaitu, mahu mengutarakan (juga melaksanakan) demokrasi Athena (polis). Namun, gagasannya ini mengundang kontroversinya dengan kalangan sofis/politikus. Tapi, apa idea pokok dari Politeia? Idea pokoknya adalah mengenai negara sebagai makro-antropos di mana memuatkan pembicaraan tentang konsep keadilan dan keutamaan serta konsep tatanan politik. Dari karya Plato ini, filsafat politik kemudiannya banyak beranjak.
b.    Politica, Aristotles
Aristotles (348 – 322), lahir di Stagira dan meninggal di Chalkis, juga masing-masing di Athena. Dalam Politica, karya ini dikarang berdasarkan suasana lenyapnya Polis lewat kosmopolitanisme Hellenisme yang diprakasai oleh Alexender de Great. Dalam Politica ini juga ditegaskan tesisnya mengenai jarak antara ruang peribadi, dengan ruang awam, serta antara ruang politik dengan ruang bukan-politik. Lantaran itu, Aristotles memaparkan inti-inti seperti konsep warganegara, konsep hak-milik serta konsep komuniti politik. Menarik, konsep hak-milik ini sudah disentuh Aristotles, jauh-jauh sebelum John Locke lagi. Sebenarnya, Politica adalah dikarang untuk menanggapi langsung karya gurunya, Plato, Politea itu.
c.     De Civitate Dei, Aurelius Agustinus
Aurelius Agustinus (354 – 430), adalah anak Souk Ahras di Algeria. Namun, kemudiannya menjadi nama besar di Romawi, dan akhirnya meninggal di Annaba juga di Algeria. Dalam hidupnya, Agustinus ini mengarang De Civitate Dei, sebuah karya yang dihimpit dengan awal abad pertengahan kristian (pasca-romawi), serta adanya perhijrahan antara bangsa-bangsa yang kemudiannya melahirkan kontroversi antara kristian dan bukan-kristian. Dalam karya ini, Agustinus membentangkan gagasannya tentang “keadilan sebagai kriteria legitimasi negara.” Di samping itu, Agustinus turut menekankan tentang negara tuhan dan negara dunia, di mana berbaurnya di dalam negara empirik. Tapi, persoalannya, apa kupasannya dalam gagasan ini? Di sini Agustinus akan menghuraikan tentang konsep legitimasi kekuasaan, serta agama sebagai kritik kekuasaan. Ini yang menarik, “agama sebagai kritik kekuasaan,” barangkali adalah pertama kali dalam sejarah agama digunakan sebagai sebuah kritik politik. Mudahnya, De Civitate Dei sarat diserikan tipologi sejarah dalam apoligia kristian.
d.   De Regimine Principum, Thomas Aquinas
Thomas Aquinas, adalah nama besar dalam abad pertengahan eropah. Mereka yang mahu mengukuhkan agama dalam pandang filsafat-teologi-kristian, pasti akan merujuk padanya. Aquinas lahir di Roccasecca dekat Aquino, pada 1224, dan menghembuskan nafas terakhirnya di Fossanuova pada 1274. Karya agungnya, De Regimine Principum (1265), yang ditulis bersarkan suasana akhir abad pertengahan serta dibawah bayang feudalisme-nya. Inti dari karya ini adalah tentang “teori hukum tabii (Natural Law Theory) adalah telos komuniti politik” (mengembalikan kepada pembicaraan Aristotles) di mana turut disarikan pandangannya mengenai perlawanan terhadap tirani, serta memperkatakan tentang politik dan keadilan. Jadi, karya Aquinas ini sebenarnya turut melahirkan genre tersendiri, ekoran kupasannya soal antara pemberontakan rakyat dengan kekuasaan tirani.
e.    II Principe, Niccolo Machiavelli
Salah satu filsuf yang paling disalah-fahami dalam sejarah, adalah Machiavelli. Lahir 1469 di Florence dan meninggal 1527 juga di Florence. Apa bukunya yang menyebabkan dirinya terpapar buruk? II Principe (1532)! Buku ini dihasilkan dalam suasana renainsans, serta dalam bayangan kekuasaan Medici dan pengaruh Girolamo Savonarola. Bahkan, diasak pula dengan konflik kekuasaan antara negara-negara kota ketika itu (negara feudal). Pokok dari buku ini adalah tentang “kecerdikan melampaui moral.” Pada Machiavelli, konsep kekuasaan dan moral dijelaskan dalam sebuah pandangan baru, yang berpatah-balek dari Aristotle: di mana kekuasaan lebih utama dari moral, tapi, dalam konteks-konteks tertentu sepertimana yang ditekankannya. Konteks-konteks ini yang jarang dibaca khalayak. Selain itu, magnum opus-nya ini turut membahaskan mengenai konsep Staatraeson (iaitu, alasan apakah boleh negara melarikan diri dari hukum di saat darurat). Malangnya, dari II Principe ini, idea totalitarian banyak mengalir darinya, meskipun dalam waktu yang sama melahirkan teori politik negara moden.
f.     Six Livres de la Republique, Jean Bodin
Jean Bodin, mungkin jarang didengar jika bukan dari kalangan pengemar filsafat politik. Tapi, dalam filsafat politik, Bodin adalah nama mashyur, terutamanya mereka yang dekat dengan kediktatoran. Buku monumentalnya, Six Livres de la Republique (1583), yang tampil dari waktu reformasi eropah, juga muncul kerana rapuhnya monarki ekoran konflik agama (boleh dibaca pada malam Bartomeus, 1572). Tapi, apa adanya pada buku ini? Six Livres de la Republique adalah tentang kuasa mutlak-raja, namun dalam ketika yang sama dibatasi oleh hukum tuhan. Di sana, Bodin akan memanjangkan pandangannya mengenai konsep kedaulatan, serta kaitan antara tirani dengan hak perlawanan terhadap tirani itu sendiri.
g.    Leviathan, Thomas Hobbes
Thomas Hobbes, 1588 – 1679, Malmesbury – Hardwick. Hobbes menulis Leviathan (1651) ekoran muhasabahnya terhadap perang 30 tahun di era emperisme, yang di sana lahirnya tokoh-tokoh perintis sains moden, seperti Newton, Galileo, Kepler, Kopernigk, dll. Leviathan itu, merupakan cerapannya terhadap dorongan survival para egois dalam penglibatannya pada negara. Justeru, ditemui dalam karya besar filsafat politik ini, konsep pemeliharaan diri dan menjaga kepentingan peribadi. Hobbes sendiri, tidak takut pada tirani, sebaleknya lebih gusarkan anarkisme. Dari satu sudut, Leviathan ada bau-bau machiavellian, namun tetap ada perbezaannya. Pada Leviathan, Hobbes menekankan sistem yang ampuh, serta kecerdasan para para/politikus. Sebab itu, dikatakan pemikiran Hobbes ini telah mengawali sistem pemikiran politik secara sistematik.
h.    Second Trestise of Government, John Locke
John Locke, memang lebih dikenal di luar bidang filsafat, terutamanya ekonomi. Anak kelahiran Wrington pada 1632 ini menulis Second Trestise of Government (1690) tatkala kecamuk-nya Glorious Revolution di Inggeris (1688), juga sewaktu era empirisme yang begitu tebal di sana. Dalam kitab ini, Locke memuatkan pandangannya mengenai kontrak sebagai elemen kestabilan buat kebebasan serta menganggap kesamaan adalah sebuah keadaan tabii. Sebab itu, dalam kitab ini, Locke, menjelaskan mengenai konsep hak milik sebagai hak asasi, di samping teori pembahagian kekuasaan.
i.      L esprit des Lois, Charles de Secondat Montesquieu
Charles de Secondat Montesquieu, atau Montesquieu saja, adalah filsuf politik yang bergelut pada zaman absolutisme Perancis (di bawah Luis XIV), juga memasuki awal-awal pencerahan Perancis (anti-agamawan). Lahir di Puri, 1698. Karya besarnya dalam filsafat politik adalah L esprit des Lois (1748), yang mengungkapkan mengenai “negara adalah untuk mengatasi kelemahan individu.” Selain itu, karya ini juga difokuskan untuk membezakan antara hakikat dan prinsip negara, serta mengupas iklim yang mempengaruhi forma (bentuk) dan materia hukum. Justeru, buku ini sepertinya mahu menzahirkan konsep hukum sebagai sebuah jejaringan, dan menegaskan prinsip-prinsip kenegaraan. Montesquieu meninggal di Bordeaux, juga di Perancis, pada 1755.
j.      Du Contract Social, Jean-Jacques Rousseau
Jean-Jacques Rousseau terkenal kerana kontrak sosial, menerusi magnum opus-nya, Du Contract Social (1762). Buku ini terhasil dari Zaman Romantik, serta Zaman Absolutisme Luis XV, juga dibawah semangat Demokrasi Kanton. Bagi Rousseau, bukunya ini adalah untuk mengupas mengenai manusia yang baik secara tabii, manakala baginya peradaban-lah yang membuatkan manusia terpuruk. Sebab itu, kontrak sosial adalah usahanya untuk mematangkan kebebasan manusia, sementara hakikatnya kedaulatan berada di tangan para pelaku pada kontrak sosial tersebut. Jadi, bukunya ini penting dalam usaha untuk memahami konsep kehendak umum (demokrasi radikal), kedaulatan rakyat serta, agama awam (unsur-unsur tolak-ansur). Rousseau lahir pada 1712 di Genewa dan meninggal 1778 di Ermenonville.
k.    Metaphysik der Sitten & Zum ewigen Frieden, Immanuel Kant
Immanuel Kant hadhir-hidup dalam naungan Friedrich, kekuasaan Prussia. Ketikanya lahir pada 1724 di Koenigsberg, itu adalah zaman Pencerahan Jerman. Justeru, dua bukunya— Metaphysik der Sitten (1797) & Zum ewigen Frieden (1795)—ini sangat bermakna dalam memaparkan sebuah evolusi menuju masyarakat sivil (civil society) berdasarkan kepada "rencana rahsia alam." Jadi, Kant akan membicarakan mengenai konsep hukum, konsep hukum akal-budi, serta konsep kepublikan, dan semua konsep ini menuntutnya dalam menjelaskan mengenai kaitan antara moral dan politik. Ketikanya meninggal pada 1804, juga di koenigsberg, Pencerahan Jerman makin marak di bawah gagasan-gagasannya. Malah, buku Zum ewigen Frieden telah diangkat PBB sebagai kandungan intelektual besar buat masyarakat global, kerana menyentuh baik mengenai hak asasi manusia.
l.      Grundlinien der Philosophie des Rechts, Georg William Freidrich Hegel
Hegel, lahir pada 1770, di Stuggart. Meninggal pada 1831, di Berlin. Kedua-duanya dalam wilayah Prussia (sekarang Jerman) ketika itu. Karya Grundlinien der Philosophie des Rechtss (1821) adalah antara salah sebuah karya pentingnya. Tapi, dalam filsafat politik, buku ini menjadi penting kerana mengutarakan konsep kebebasan serta konsep masyarakat sivil. Bagaimana boleh hadhirnya buku ini? Hegel menulis di tengah-tengah puncak Pencerahan Jerman, monarkisme Prussia, serta maraknya aliran historisme. Manakala, di sebelah barat Prussia, Perancis pula diledakkan dengan revolusi serta kekuasaan Napoleon. Justeru, dalam kekabutan ini, Grundlinien der Philosophie des Rechts terhasil dengan tesis utamanya adalah mengenai “dialektika dalam kesusilaan (Sittlichkeit), di mana terdapatnya elemen “keluarga”, “masyarakat sivil” dan “negara.” Maka, mahu atau tidak mahu, Hegel akan menyentuh juga konsep etika. Mungkin konsep Kant maseh bersifat abstrak, tapi pada Hegel, di sini telah menurunkanyan dalam pandangan praktis.
m.  De la democratie en Amerique, Alexis de Tocqueville
Alexis de Tocqueville, merupakan pemikir besar Perancis, yang melakukan perjalanan-pencerapan politik di Amerika Syarikat. Mungkin hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Montesquieu yang berkunjung ke Inggeris. Jadi, sesampai di Amerika itu, Tocqueville itu banyak berfikir ulang tentang demokrasi, setelah melihat ‘keanehan’ demokrasi Amerika. Tocqueville lahir pada 1805 di Paris Pasca Revolusi Perancis, dan suasananya berkembangnya kapitalisme liberal. Dalam hidupnya, Tocqueville mengarang beberapa buku. Namun, De la democratie en Amerique (1835) adalah kitabnya yang paling dihargai. Mengapa? Kerana kitab ini memuatkan gagasannya mengenai kesamaan sosial dalam membendung kezaliman, juga membahaskan konsep kesamaan dan kebebasan. Jadi, ternyata, buku Tocqueville ini adalah sebuah bahan penting dalam menghimbau kezaliman majoriti, demokrasi deliberatif, malahan kesusasteraan sekalipun! Tocqueville meninggal pada 1859, di Cannes.
n.    Der Begriff des Politischen & Politischen Theologie, Carl Smith

Carl Smith, hadhir ketika munculnya totalitarianisme, iaitu di hujung kekuasaan Republik Weimar, dan awalnya Zaman Nazi Jerman. Dalam pergolakan politik inilah, Smith menghasilkan dua buah buku filsafat politik, Der Begriff des Politischen (1932) & Politischen Theologie (1922). Buku ini membentangkan mengenai pemegang kedaulatan adalah juga mereka yang menentukan keputusan dalam keadaan darurat. Justeru, dalam dua buku ini ternyata sarat sekali konsep-konsep tentang apakah itu “yang politik” serta pandangannya mengenai “kedaulatan.” Pada buku Politischen Theologie juga, itu bolehlah diibaratkan sebagai sebuah metafizik politik, yang di sana terkandung juga ontologi politik. Jadi, filsafat politik, pada tangan Smith, mendorong politik itu tak menolak andaian-andaian teologi, atau agama. Buku menarik ini adalah peninggalan pentingnya, sebelum Smith pergi pada 1985, di Plenttenberg.
o.    Vita Activa & Elemente und Ursprunge totaler Herrschaff, Hannah Arendt
Hannah Arendt, semua tahu, adalah dari Yahudi, dan pernah menjalinkan hubungan intim dengan Martin Heidegger, gurunya serta filsuf besar abad ke-20. Arendt lahir di Linden dekat Hannover pada 1906. Namanya mula mendapat perhatian setelah totalitarianisme Nazi di Jerman, yang memaksanya mengusir ke Amerika Syarikat. Dan, di Amerika Syarikat-lah, atau tepatnya di New York, Arendt meninggal pada 1975. Dua buah karyanya ini— Vita Activa (1960) & Elemente und Ursprunge totaler Herrschaff (1955)—adalah membicarakan mengenai krisis republik akibat perluasan ruang peribadi ke atas ruang awam. Jadi, dalam huraiannya, Arendt menegaskan mengenai konsep keganasan, konsep krisis republik serta konsep ruang peribadi dan ruang awam. Bukunya ini adalah penting, dalam kelasan pasca-modeniti. Malah, pernah pada waktu 1980-an, di Jerman dan wilayah sekitarnya begitu aktif membicarakan Arendt, sampai di pekan-pekan kecil di sana, seperti di Konstaz, menganjurkan seminar Arendt Renaisancce. Sebab? Kerana dalam banyak karyanya lebih awal menekankan mengenai globalisme, dan masyarakat kosmopolitanisme, sesuai dengan suasana berakhirnya Perang Dingin ketika itu. Walau bagaimanapun, warna filsafat politik Arendt tak dinafikan banyak dipinjam dari filsafat Yunani.
p.    Faktizität und Geltung, Juergen Habermas
Juergen Habermas, lahir 1929 Duesseldorf, adalah filsuf dari Mazhab Frankfurt, yang meledakkan Teori Kritis pada pasca Perang Dunia ke-II. Buku Faktizität und Geltung (1992) adalah wakil buku filsafat politik dari ranah Mazhab Frankfurt itu. Sebelumnya, suatu kritikan besar terhadap Mazhab Frankfurt ialah sikapnya yang menampilkan kritikan semata, tidak alternatif. Namun, pada saat Habermas, sebagai generasi kedua Teori Kritis, telah memaparkan pandangannya mengenai politik secara praktis. Dalam buku ini, Habermas menampilkan tesis di mana menyambungkan sistem politik dengan masyarakat sivil. Jadi, terlampir juga, konsep demokrasi deliberatif, konsep proseduralis dan konsep wacana. Maka, bukunya ini terkenal dengan sistematiknya. Ini ditulisnya pasca perang dingin, New Left Movement serta kian hangatnya globalisasi, era demokrasi serta wacana pasca-moden. Dewasa ini, Habermas banyak memberi perhatian terhadap tema agama dan ruang awam.
q.    Force de Ioi, Jacques Derrida
Lahir di El Biar Algeria pada 1930, meninggal pada 2005 di Perancis. Derrida terkenal sebagai filsuf pasca-moden. Manakala buku Force de Ioi (1990) adalah buku filsafat politik yang terhasil dari Pasca Perang Dingin. Bahkan, dalam semarak demokrasi, serta globalisasi, Deridda cuba mengungkapkan gagasan bahawa keadilan adalah dekonstruksi dan dekonstruksi adalah sesuatu yang tak dapat didekonstruksi lagi. Jadi, dalam wacana ini, Deridda menyingkap mengenai konsep keadilan dan tafsirannya ke atas keadilan tersebut. Berlawanan dengan Habermas, yang mengacukan rekonstruksi, manakala Derrida kental atas idea dekonstruksi.
r.     Contigency Irony and Solidarity, Richard Rorty
Richard Rorty, 4 Oktober 1931 New York hingga 8 Jun 2007, juga di New York, adalah seorang filsuf Amerika yang terkenal dengan pragmatisme. Karya Contigency Irony and Solidarity (1989) adalah kupasannya mengenai persaudaraan (solidarity) yang berkaitan dengan perluasaan rasa-kekitaan. Lalu, di sana, Rorty menukik kepada konsep persaudaraan serta garis pemisahan antara awam dan peribadi. Asalnya, buku ini ditulis dalam suasana Pasca Perang Dingin, juga gencarnya idea demokrasi, globalisasi serta pasca-moden. Pandangan Rorty tak banyak beza dengan Habermas, melainkan pebezaan pendekatan/kaedah saja. Namun, kesimpulan mereka hampir persis, yaitu menekankan prosedur demokrasi.


DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar