Sejam sejak merontanya gumulan amarahku, Dhea tak memalingkan wajah hingga lajuku yang berjalan pergi hingga garis terakhir lantai rumahnya. Tonggak malu dibalut ketakutan, tersingkap merah di wajahku. Aku Chaplin dan tetap tidak menerima itu. Bila kala dua bulan yang lalu aku tak melemahkan jiwa padanya, mungkin pinggul indahnya tak mengikuti. Ia manis meski kutahu tidak utuh buatku, walau kadang pesona itu ditutupi oleh pongah jumawa pujian teman-teman kampus. Berbagai sesal terpajang dalam tiap tatapan mataku di sudut kamar lembab. Catnya yang tak baru lagi terkupas di beberapa bagian hati. Menggenangi Sukaria waktu itu, banjir bertanya tentang apakah aku akan menggendong Dhea lagi?. Sepertinya tidak, karena terlebih dahulu akan kusuling hatiku untuk menjernihkannya dari keruh.
“Suka mentong ko memuji di’?”. Lenyap sudah tanya seperti itu. Kupuji berlebih dalam setiap, penampilan, gerak, bahkan bila dia terbaring dalam beberapa jengkal lipatan silang kakiku saat menjaganya. Kontras warna pakaian yang dikenakannya, memijat kepalaku yang pening diterpa amarah. Selalu kesejukan yang terurai. Tak ada bantahan, sejak saat itu aku jatuh cinta dan terus menumpuk menggunung. Selapang apapun aralnya, aku yang kurus legam memberanikan diri menutupi jelasnya kaku sepasang bibir hitamku. “Saya sayangko Dhea!” seperti pahlawan bertopeng dalam bagian cerita masa depan. Datang dengan beda, mencukupi kekurangan kekasihnya. Aku Chaplin hanya merogoh sedikit usaha menaklukkan sinis dari bibir merahnya. Orang kedua memang selalu begitu, harus kutarik sedikit beberapa batasan syaratku karena untuk kekasihnya yang pertama jelas dia terpenjara.
Seberapa berubah? Perangaiku dikelilingi dengan puji sinis kawanku di kampus hijau. Apalah daya? Diriku terhitung hebat tatkala berhasil menggenggam jemari Dhea melintasi koridor barisan ruang kelas. Hubungan itu hijau, seperti warna atap kelas yang senantiasa melindungi berkah perasaan. Akhir hubungan tak berarti berakhir bagiku, saya masih bisa merogoh dompet dan mencabut sehelai fotonya yang memeluk boneka anjing itu. Sesekali berjejer kenangan dalam tiap titik yang membentuk gambar dalam foto itu. Bila Dhea berfikir aku salah, sama sekali aku tak mengelak bahkan tak terfikir untuk kuumpan balik padanya yang telah membuka jendela kesempatan itu. Jendelanya kini rapuh, sejak pertama memang Dhea bersikukuh di balik jendela itu ada jeruji kuat hubungannya dengan pemuda di Tonasa. “Kenapa tidak ko lawan itu?”. Tapi telat, aku tak butuh mempertanyakan itu. Berdiri dalam jejeran paras cantik di hidupku sudah cukup menggulung semua putus asa.
Dapatkah kau melihatku dan membuka keran kenangan perjalanan kita kala kuberanikan diri menanyaimu dibawah cahaya lampu jalan?. Mungkin akan kucari lagi jaket alvina yang sempat kau kenakan itu. Kutahu kau menutup hidung karena bau badanku yang sebelumnya menjangkiti tiap rajutan benangnya. Tapi kau salah karena merebahkan kepalamu lebih dulu tanpa kuminta. Adakah dalam setiap kesendirianmu, aku tergambar dalam liang fikirmu?. Ataukah ternyata kau juga menyimpan secarik kertas tentangku. Gelombang sinyal intercom pastinya tak kugunakan lagi. Aku sama sekali tidak berani untuk disebut merebut dari kekasihmu. Bila kutahu seberapa besar rasamu padaku, mungkin akan kuukur pula tuangan perhatianku. Hingga akhirnya tak seperih ini bila kemudian hari banjir yang menggenangi Sukaria mengungkap kenangan kita.
“Tidak ji! mama kusimpan-simpan ji”. Begitu sanggahku kala foto itu tak sengaja terlihat oleh istriku. Gambarnya menghimpun banyak rentetan kisah kala kita bersua hingga akhirnya kau dapati gelar sarjanamu. Saban hari kudengar suaramu lewat telefon, tidak banyak yang sempat tertuang dari percakapan kita. Hanya beberapa ingatan terkuak kala dirimu menyandarkan kepala di bahuku saat terkantuk. Tahukah kau? Bahuku keram, tapi aku suka itu. Hubungan kita seperti kelelawar yang tidak bisa melihat di malam hari. Suaramu cukup untuk memberiku jalan. Hubungan kita tak ada yang tahu, kau hebat menyembunyikannya dari kekasih pertamamu. Kuharap hingga kini kau tak memberi tahu padanya. Terang dia hebat, tapi aku tak memusuhi kekasihmu. Tapi aku lebih hebat karena bersamanya aku masih bisa merampas itu.
Kepulan asap rokok menggumpal tepat di depan wajahku. Seperti kisah kita, kepulan asapnya tidak bertahan lama. Hanya dua bulan akhirnya diterpa semilir angin yang lebih kuat. Maaf! Aku juga bisa mengepulkan asap yang baru. Kau cantik, tapi bukan satu-satunya. Beberapa pasangan menjajakan kemesraaan di depanku, berulang-ulang mengangkat kenangan yang sempat terkubur kini. Tentang kejadian kala bibirku menjamah pipimu. “Lale memang ko di’?” tanyamu malu. “Wajar ji toh!” aku membenarkan. Untuk sebagian orang kau mungkin hanya lagu sedih untukku tanpa penjelasan. Tapi sama sekali tak kuakui itu. Cukup! Beginilah aku menghilang darimu.
Oleh Taufiq Manji pada 23 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar