berita dan perbincangan di media belakangan banyak memuat hal hal negatif seputar masalah sosial yang ada disekitar kita. mulai dari korupsi pejabat, perang antar kampung sampai hukum pancung TKI di Arab Saudi. tapi tenang para pembaca nda bakalan se bahasji itu seabrek masalah. malas rasanya berada di kerumunan cara pandang dominan yang belakangan ini mulai ngepop. ngepop dalam pengertian karena dia diproduksi secara massal dan nirmakna dimana semua orang berlomba-lomba mengkritisi apa saja yang bisa dkritisi dan mendapatkan status patriotik pada tengah namanya.
ada yang menarik ketika saya melihat diskusi yang diadakan di TV One yang menghadirkan tiga pembicara yaitu Sujiwo Tedjo, Imam Prasodjo, ali mustafa. ketiga pembicara yang ada mewakili perspektif berbeda budaya, sosiologi dan agama. saya tidak akan membahas apa yang mereka perbincangkan karena saya mungkin yang tidak memperhatikan diskusinya dari awal. statement dari sudjiwo tedjo yang kemudian mengalihkan perhatian saya ketika dia mengkritik gerakan feminis abad 21 yang katanya merepresi jiwa ke"kanak-kanak"an pria. sifat kekanak kanakan selalu berkorelasi dengan sifat lugas, tanpa beban dan senang bermain. tanpa sadar tuntutan kelaki-lakian mengharuskan laki-laki untuk tegar, jaim dan takut salah.
konsepsi ini menggiring manusia pada sebuah koridor khusus yang akrab kita namakan sadar ( consiusness ).
segala tindakan yang berbasis pada nalar menjadi sebuah keharusan yang tidak terelakkan. konstruk sosial begitu kuat menghujam setiap sendi-sendi kehidupan, mulai dari tetek bengek pakaian, makanan sampai cara memegang rokok semua serba diatur. laki-laki tidak boleh minum rasa-rasa lah, tidak boleh pake baju pink lah, tidak boleh curhat lah, tidak boleh menyayikan lagunya smash lah, dan seabrek hal-hal tabu yang tidak boleh dilakukan karena apa bila dia dilakukan ke"laki-laki"an kita dipertanyakan. setiap oknum yang mencoba untuk berbeda dari gagasan tersebut akan mendapatkan cap "feminim".
dialektika gagasan antara "feminim" dan "maskulin" telah menjadi sejarah karena pada akhirnya si "maskulin" terpasung disudut-sudut peradaban terdiam membisu dan terpinggirkan. hasrat yang menjadi senjata oleh si "maskulin" telah direpresi oleh sistem dan nilai norma sosial yang memiliki daya menekan dan memaksa yang cukup besar. cuma ada dua pilihan bagi si "maskulin" yaitu masuk rumah sakit jiwa atau menjadi maskulin seperti laki-laki kebanyakan.
standarisasi maskulinitas menjadi domain tersendiri dari sebuah mesin hasrat. selalu ada citra yang senantiasa diproduksi yang menentukan dibalik semua obyek-obyek konsumsi disekitar kita. lingkungan bisnis menikmati nilai lebih yang melimpah melalui standarisasi ini dengan disokong oleh institusi sosial yang ada. media menawarkan begiitu banyak pilihan yang membesarkan hati kita untuk sejenak mengalihkan hasrat natural yang senantiasa butuh dikanalisasi.
Oleh Alhe Laitte pada 23 Juni 2011
ada yang menarik ketika saya melihat diskusi yang diadakan di TV One yang menghadirkan tiga pembicara yaitu Sujiwo Tedjo, Imam Prasodjo, ali mustafa. ketiga pembicara yang ada mewakili perspektif berbeda budaya, sosiologi dan agama. saya tidak akan membahas apa yang mereka perbincangkan karena saya mungkin yang tidak memperhatikan diskusinya dari awal. statement dari sudjiwo tedjo yang kemudian mengalihkan perhatian saya ketika dia mengkritik gerakan feminis abad 21 yang katanya merepresi jiwa ke"kanak-kanak"an pria. sifat kekanak kanakan selalu berkorelasi dengan sifat lugas, tanpa beban dan senang bermain. tanpa sadar tuntutan kelaki-lakian mengharuskan laki-laki untuk tegar, jaim dan takut salah.
konsepsi ini menggiring manusia pada sebuah koridor khusus yang akrab kita namakan sadar ( consiusness ).
segala tindakan yang berbasis pada nalar menjadi sebuah keharusan yang tidak terelakkan. konstruk sosial begitu kuat menghujam setiap sendi-sendi kehidupan, mulai dari tetek bengek pakaian, makanan sampai cara memegang rokok semua serba diatur. laki-laki tidak boleh minum rasa-rasa lah, tidak boleh pake baju pink lah, tidak boleh curhat lah, tidak boleh menyayikan lagunya smash lah, dan seabrek hal-hal tabu yang tidak boleh dilakukan karena apa bila dia dilakukan ke"laki-laki"an kita dipertanyakan. setiap oknum yang mencoba untuk berbeda dari gagasan tersebut akan mendapatkan cap "feminim".
dialektika gagasan antara "feminim" dan "maskulin" telah menjadi sejarah karena pada akhirnya si "maskulin" terpasung disudut-sudut peradaban terdiam membisu dan terpinggirkan. hasrat yang menjadi senjata oleh si "maskulin" telah direpresi oleh sistem dan nilai norma sosial yang memiliki daya menekan dan memaksa yang cukup besar. cuma ada dua pilihan bagi si "maskulin" yaitu masuk rumah sakit jiwa atau menjadi maskulin seperti laki-laki kebanyakan.
standarisasi maskulinitas menjadi domain tersendiri dari sebuah mesin hasrat. selalu ada citra yang senantiasa diproduksi yang menentukan dibalik semua obyek-obyek konsumsi disekitar kita. lingkungan bisnis menikmati nilai lebih yang melimpah melalui standarisasi ini dengan disokong oleh institusi sosial yang ada. media menawarkan begiitu banyak pilihan yang membesarkan hati kita untuk sejenak mengalihkan hasrat natural yang senantiasa butuh dikanalisasi.
Oleh Alhe Laitte pada 23 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar