Selamat datang di blog ini

Blog ini merupakan blog yang berisikan catatan-catatan mahasiswa yang merindukan keadilan di negeri ini...!!!!!

Selasa, 16 Agustus 2011

Tak Seutuhnya Pergi (Chaplin dan Dhea)

Suasana lengang salah satu rumah di jalan Sukaria sore itu sedikit diperkeruh oleh gemericik suara intercom, menggunakan alat komunikasi yang tersohor di kalangan muda-mudi pertengahan 90-an, Chaplin coba merusak kesuntukan sehabis kuliah. Rumah yang tepat berada di kelurahan Tamamaung memang selalu menjadi persinggahan yang pas buatnya. Maklum, Chaplin yang oleh kerabat dekatnya sering dipanggil ‘double C’ tidak memiliki motor atau kendaraan darat bermesin lainnya. Keterbatasan tersebut, di tengah kebutuhan pergaulan tentu saja membatasi perangainya yang selalu ingin berkomunikasi atau sekedar bercerita dengan orang lain. Alat komunikasi dengan bentangan kabel panjang tersebut akhirnya oleh mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) tersebut dijadikan sebagai ‘motor’ udara untuk mengunjungi mereka yang mendapat ‘jatah’ ujung bentangan kabel di rumahnya.

“Bisa saya disambungkan dengan Dhea?”
Minta Chaplin kepada operator. Harapannya Dhea tidak lagi bersikap sinis padanya ketika melontarkan sedikit basa-basi untuk memulai perkenalan. Sejak bersua di kampus hijau itu, mahasiswi hukum UMI angkatan 94 ini memang telah menarik perhatian Chaplin yang terang lebih berumur muda setahun. Sungguh tidak mengherankan, mahasiswi senior bernama lengkap Kharisma Neni ini memang merupakan salah satu ‘jawara’ fakultas hukum yang digandrungi seantero kampus. Sedikit tomboy, semakin menambah daya tarik pada diri Dhea yang memang ‘dihadiahi’ dengan kulit putih dan paras memikat ala perempuan muda Makassar pada masanya.

“Dhea,ini?” dengan segera Chaplin bertanya ketika tersadar permintaannya telah tersambung.
“Iya!” sinis Dhea menjawab.
Bergelanyut jutaan perasaan dalam diri si pemilik kulit legam ini, harapnya usaha yang kesekian kalinya ini bisa membuahkan hasil. Namun mendapati intonasi suara Dhea ketika menjawab pertanyaannya serasa baginya akan kembali dijemput oleh rasa penasaran akibat komunikasi dengan perempuan pujaan yang tak kunjung terjadi. Dasar Chaplin anak muda berdarah sebuah kabupaten yang berjarak sekitar 100 km dari kota Makassar ini, tak juga kunjung kendor semangatnya untuk mengisi hari-hari Dhea dengan gangguan.
“Bisa saya jalan-jalan ke rumah ta’?” sambung Chaplin yang mencoba tidak terpengaruh dengan nada menjawab lawan bicaranya.
“Untuk apa?” timpal Dhea masih dengan nada yang sama.

Selang lama Chaplin menguras bujuk  yang dimilikinya. Dhea yang memiliki jarak rumah dengan Chaplin tak cukup jauh ini akhirnya menutup pembicaraan. Kesempatan Chaplin belum habis, karena pembicaraan pakaballisi’ (Makassar: menjengkelkan) via intercom tadi ternyata membuahkan informasi yang cukup baginya untuk bersua dengan perempuan yang menurutnya begitu semampai. Niat Dhea untuk berkunjung ke rumah salah satu temannya Oksa yang juga teman dekat Chaplin, baginya tak lain adalah ruang terbuka setidaknya untuk bertemu langsung.

Tak jauh dari masjid Nurul Iman juga di area jalan Sukaria, rumah Oksa mulai kedatangan tamu. Tak ingin membuang peluang Chaplin datang lebih cepat dengan harapan semua syarat kedatangan Dhea ke rumah Oksa juga terpenuhi. Akhirnya tibalah saat ketika sesosok kulit putih bening yang dilapis dengan kaos produksi Bali warna merah memasuki halaman rumah Oksa, sontak pula Chaplin terbelalak karena ternyata si tamu Oksa yang paling diharap kedatangannya oleh Chaplin ini akhirnya muncul juga. Usut cerita, kedatangan Dhea ke rumah Oksa ternyata niatan Dhea untuk meminta pertolongan kepada Oksa. Ujian skripsi Dhea menjelang dan sore itu juga dia membutuhkan seseorang yang sedia mengantarkannya di jalan kemerdekaan timur komplek Bumi Tamalanrea Permai (BTP) untuk mengambil skripsinya yang telah rampung. Gayuh bersambut, Oksa tak mampu menyanggupi permintaan Dhea. Tak ingin mengecewakan temannya, Oksa melemparkan kesediaanya pada Chaplin yang sedari tadi hanya bisa terdiam memandangi gadis idaman yang sudah berada di depannya.

“Antar sai tawwa itu Dhea ke BTP ambil skripsinya!” Ujar Oksa sambil melontarkan wajahnya pada Chaplin.
Masih terbayang sikap Dhea yang ketus padanya. Chaplin dengan sedikit sombong, menaikkan harga dan menimpali permintaan itu seraya berkata ”Yang penting mauji orangnya”.
Tanpa pikir panjang Oksa menolehkan wajahnya pada Dhea.
“Mau jko tawwah?” tanya Oksa pada Dhea.
Seperti bukan Dhea yang selama ini ketus terhadapnya akhirnya mengiyakan sembari mengangguk dan melihat ke arah Chaplin. Sore itu bagi Chaplin sontak berubah laksana belantara gemerlap bintang mengelilingi.
“Jam berapa paeng berangkat? Asal adaji motor, tidak ada motorku saya itu” sambungnya yang mulai merasa diatas angin.
“Habis maghrib berangkatki’, adaji motor” jawab Dhea menutup.

***
Lepas maghrib Chaplin mulai menapaki langkah demi langkah menuju rumah paman Dhea. Langkah yang dimantapkan dengan hentakan sepatu kets bermerek warrior. Dhea memang bertempat bersama paman dan bibinya yang keduanya bekerja sebagai tenaga pengajar pada salah satu sekolah negeri di Makassar. Malam itu Chaplin terlihat begitu rapi dengan balutan kemeja biru mudanya yang dimasukkan kedalam celana panjang merek grafity dan pastinya dengan model update pada kurun waktu itu.  Keluarlah Dhea pakaian serba hitam dari dalam rumahnya, semakin rianglah dalam hati Chaplin karena malam itu Dhea mengenakan pakaian dengan warna kesukaannya.

Perjalanan motor suzuki jetcold akhirnya dimulai dengan melintasi jalan sukaria menuju BTP, si joki Chaplin dan penumpangnya saling berjarak dalam menentukan posisi bokong mereka pada sadel motor yang kira-kira berukuran kurang dari setengah meter. Perjalanan dengan perkiraan kecepatan 60 km per jam ini terlihat bagai seorang tukang ojek yang mengantar penumpang asing, praktis sepanjang perjalanan yang melintasi jalan racing centre hingga perintis kemerdekaantak satupun suara dikeluarkan dari mereka masing-masing. 

Sesampai di rumah Ani, tempat yang mereka tuju, tanpa pikir panjang Dhea bergegas mengambil lembaran tebal yang sebelumnya memang sudah disiapkan oleh temannya itu.
“Mari saya fotokopi kan!” minta Chaplin kepada Dhea menawarkan bantuan.
“Janganmi! Sama-sama miki pergi saja.” Balas Dhea menolak
Keduanya pun kembali memasang jarak duduk diatas kendaraan yang hanya memiliki tiga persenelan tersebut. Menuju salah satu toko alat tulis di gerbang komplek, keduanya menyempatkan singgah sebelum pulang untuk menggandakan skripsi Dhea.
“Mauko Coca cola?” tawar Chaplin pada Dhea mengisi pembicaraan
“Tidak!” Spontan Dhea menjawab
“Sprite?” tawar Chaplin kembali
“Tidak!” jawab Dhea sama
“Fanta?” sambung Chaplin yang tidak patah semangat walaupun sudah menawarkan hingga tiga kali.
“Tidak! Tidak suka ka.” Lagi-lagi Dhea menolak
Melihat tingkah itu, Chaplin semakin penasaran dengan perempuan yang dia idamkan itu. Chaplin menawarkan permen Mentos yang ditaruh di dalam toples kaca, namun Dhea tetap menolak. Chaplin merasa senang dengan penolakan itu, menurutnya penolakan ini sebagai pertanda bahwa Dhea tidak terlalu banyak meminta. Baginya, sangat pas dengan kondisinya yang lebih sering puasa akibat kantong kering.

Tepat pukul sepuluh lewat dua puluh menit, keduanya meninggalkan komplek BTP. Belum cukup sekilo perjalanan, Chaplin menghentikan kendaraannya.
“Kenapa berhenti?” Tanya Dhea heran
Tanpa menjawab Chaplin melepas rain coat alvinanya dan menyodorkan pada Dhea
“Pakai mi ini! Nanti kedinginan ko.”
“Janganmi deh!” jawab Dhea menolak
Tepat depan gerbang universitas Cokroaminoto Chaplin terus meminta Dhea untuk menggunakan jaketnya. Berdiri di depan sebuah tiang listrik akhirnya Dhea mengiyakan menggunakan jaket tersebut. Kembalilah mereka melanjutkan perjalanan menuju Sukaria. Kendaraan pun melaju dengan kecepatan yang sedikit berkurang, Chaplin mulai memberanikan diri untuk memperdekat jarak duduk. Tarikan gas pun diundur sehingga kecepatan berkurang menjadi 40 km/jam. Menikmati perjalanan yang hampa menuju sukaria, akhirnya Chaplin meretasnya.
“Dhea! Mauka jadi pacarmu!” berat rasanya kalimat itu terucap.
“Adami pacarku, dia orang kerjami.” Dhe menjawab dengan lugas
“Saya suka sekali ko Dhea, biar cuma satu hari.” Chaplin mencoba menekankan keseriusannya
“Maksako ini parner?” tanya Dhea heran
“Iyah! Jawab Chaplin. Angin yang menyeruduk badannya yang tak berjaket terasa tak dingin lagi.
“Memang lagi marahanka’ sama pacarku sekarang jadi tidak baku bicaraka’ dulu.” Dhea berkelakar.

“Kalau begitu, ini malam mo saja! Mauja ini isi kekosonganmu Dhea”. Sambung Chaplin dengan raut berharap.
Lama bertukar ucap, pembicaraan dengan minim kalimat ini akhirnya berujung pada ucapan ringan dengan intonasi kecil dari mulut Dhea.
Iyo paeng, asal kalau baikanma’ dengan pacarku putus miki nah!”
Riang bergejolak perasaan Chaplin, tanpa berfikir panjang lelaki kurus ini segera mengiyakan syarat yang diminta oleh perempuan yang telah menjadi kekasihnya sejak beberapa detik yang lalu. Tangan kiri Chaplin meminta tangan kiri Dhea untuk memeluknya dari belakang, tak tersadar akhirnya Dhea pun merebahkan kepalanya tepat di punggung bagian kanan kekasih kedua yang ia miliki. Memberontaklah perasaan keduanya malam itu. Terkhusus bagi Chaplin, serasa meminta jarak menuju sukaria supaya bisa ditambahkan beberapa kilometer lagi.

***
Kesehariannya dengan Dhea, memberikan kebanggan tersendiri bagi Chaplin. Gosip pun merebak diantara mahasiswa hukum tentang kehebatan Chaplin mendapatkan primadona fakultas. Chaplin yang lebih suka mengakui dirinya sebagai mahasiswa bodoh santer diberitakan sebagai penakluk kawakan oleh teman-temannya. Sedikit angkuhlah Chaplin dengan kondisi tersebut, hingga jumawa itu membawanya untuk lupa bahwa suatu ketika dia akan menjadi pesakitan ketika hubungan Dhea pacar pertamanya telah membaik. Semakin waktu beranjak semakin dalam pula rasa cinta keduanya. Namun keduanya dibedakan tentang pilihan Dhea yang tak mau menceritakan alasan tentang keengganannya meninggalkan kekasihnya yang bekerja di perusahaan semen tonasa itu. Seakan terjerumus dalam jurang rasa, Chaplin juga enggan mempertanyakan. Tercetaknya romansa kasih sayang keduanya, membuat Chaplin juga tak tanggung-tanggung melempari kekasihnya dengan perhatian yang dimiliki. Bahkan suatu ketika Chaplin rela menggendong Dhea kala banjir menggenangi jalan sukaria, tak peduli dengan olokan tetangga dia berlalu serasa tak ada yang melihat.

Terik mengintip, Chaplin yang berada dirumahnya mendapati pagernya bertuliskan pesan dari Dhea. Chaplin pun segera melangkahkan kakinya menuju ke rumah kekasihnya. Dia memang telah terbiasa melakukan hal seperti itu, melakukan segalanya demi sang pemilik hatinya. Setiba di rumah Dhea, Chaplin mendapati Dhea sedang terbaring lemas. Rupanya isi pesan singkat yang diterimanya berisi kabar keadaan Dhea yang sedang kurang fit. Chaplin pun memberanikan diri untuk duduk disamping kekasihnya.
“Putus miki nah?” tutur Dhea pelan. Laksana petir di siang bolong, Chaplin mendapati ucapan yang tak diharapkan menjemput siang itu. Walau sebenarnya dia sudah menerka bahwa kapan saja ucapan itu bisa terungkap. Berberat hatilah dia untuk mengiyakan dan hingga akhirnya.
“Baikan ma’ dengan pacarku yang di tonasa”. Sambung Dhea
“Sebenarnya berat ini Dhea….” Belum sempat Chaplin melanjutkan kalimatnya. Dhea lalu menimpali
“Saya kira janji moko dulu? Putus miki saja! Dhea menutup ucapannya.

Tegukan segelas kopi mengakhiri cerita Chaplin tua siang itu. Saya pun bergegas meninggalkan warung kopi yang tepat berada di sebelah patung ayam.
“Jangan sembarang kau tulis nah! Perintah Chaplin padaku sambil mengibas-ngibaskan topi putihnya.

Oleh Taufiq Manji pada 17 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar